limbah sagu menjadi hidrogel


MAKALAH
PEMANFAATAN LIMBAH SAGU MENJADI HIDROGEL


TIM PENYUSUN :

MUHAMMAD ELFAN EFENDI (20)
RESTU KUSUMA SUNARSO (27)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang
Perkembangan dalam bidang pertanian dan industri pertanian seringkali menimbulkan peningkatan limbah pertanian yang sebagian besar merupakan limbah berlignoselulosa. Secara kimia limbah berlignoselulosa kaya akan selulosa yang dapat diolah menjadi produk-produk yang bernilai ekonomi. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) terutama mengenai bahan penyerap, maka limbah lignoselulosa dapat lebih efiseien digunakan dengan modifikasi, salah satunya untuk proses produksi Na-CMC sebagai bahan baku pembuatan hidrogel.
Na-CMC adalah turunan dari selulosa yang bersifat hidrofilik sehingga dapat menyerap air dan apabila direaksikan dengan akrilamide pada kondisi tertentu dapat mempunyai struktur lebih kuat sehingga dapat diproduksi dalam bentuk hidrogel. Hidrogel merupakan polimer hirofilik yang mempunyai kemampuan mengembang (swelling) dalam air, tetapi tidak larut dalam air, serta mempunyai kemampuan mempertahankan bentuk asalnya (Rosiak JM, 1991). Hidrogel bersifat biokompatible dalam darah, cairan tubuh, dan jaringan hidup. Disamping itu, hidrogel juga memiliki permeabilitas air yang cukup tinggi sehingga dapat digunakan sebagai matriks untuk pengendalian pelepasan obat, pembalut luka bakar, membran hemodialisis, super absorbant, dan sebagainya (Anonim, 1989). Sifat hidrofilik dari hidrogel dipengaruhi oleh adanya gugus hidroksil, gugus karboksil, gugus amida, atau gugus hidrosulfit, sedangkan ketidaklarutan dalam air dipengaruhi oleh struktur tiga dimensi dari hidrogel. Kemampuan hidrogel untuk mengembang dalam air merupakan hasil dari keseimbangan antara kekuatan sebar pada rantai hidrat dengan kekuatan kohesi yang tidak mencegah penetrasi air ke dalam hidrogel. Derajat dan ikatan silang dari polimer juga ikut menentukan sifat mengembang hidrogel.
Indonesia merupakan salah satu negara utama penghasil sagu di dunia. Tanaman sagu tumbuh secara komersial untuk produksi pati sagu. Pati sagu tidak dapat langsung digunakan sebagai bahan untuk membuat hidrogel karena sifat fungsionalnya yang tidak memungkinkan sehingga perlu dikombinasikan terlebih dahulu. Pati merupakan suatu bahan baku alternatif untuk bahan dasar hidrogel yang berfungsi sebagai absorber. Sebuah campuran pati dan akrilamide mempunyai potensi untuk membentuk biopolimer komponen unik karena dapat memproduksi gel. Limbah sagu yang dihasilkan dari industri pengolahan pati belum banyak dimanfaatkan secara optimal. Padahal, limbah sagu merupakan biomassa lignoselulosa. Oleh karena itu, limbah sagu dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar untuk bahan penyerap dalam proses produksi hidrogel sehingga dapat mengurangi pencemaran lingkungan dan meningkatkan pendapatan negara karena dapat memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi bila dikembangkan secara aplikatif.
1.2.   Perumusan Masalah
Meningkatnya limbah pertanian akibat perkembangan industri pertanian menimbulkan pengaruh pencemaran lingkungan. Limbah pertanian merupakan hasil samping industri pengolahan pertanian. Salah satu limbah pertanian dari hasil samping industri adalah limbah sagu. Limbah sagu merupakan biomassa lignoselulosa yang mengandung komponen penting, seperti pati dan selulosa. Namun, limbah sagu belum banyak dimanfaatkan sehingga belum memiliki nilai ekonomi. Padahal, biomassa lignoselulosa limbah sagu berpotensi sebagai bahan untuk membuat hidrogel.
1.3.   Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk:
(1) mengetengahkan kondisi  limbah sagu di Indonesia,
(2) mengestimasi tingkat kebutuhan masyarakat dunia terhadap hidrogel serta keuntungannya,
(3) memanfaatkan potensi yang terkandung pada limbah sagu sebagai bahan baku pembuatan hidrogel,
(4) menyarankan metode dalam produksi biomassa lignoselulosa dari limbah sagu, dan
(5) melihat keuntungan hidrogel yang dihasilkan dari limbah sagu.

1.4.   Manfaat
Manfaat makalah ini adalah diperolehnya informasi mengenai
(1) kondisi limbah sagu di Indonesia,
(2) sumber-sumber bahan baku hidrogel dengan berbagai kelebihannya,
(3)kandungan limbah sagu dalam peranannya sebagai bahan baku pembuatan hidrogel,
(4) perbandingan keuntungan hidrogel limbah sagu dibandingkan dengan sumber lainnya, dan
(5) disosialisasikannya mengenai metode produksi biomassa lignoselulosa dari limbah sagu.














BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Potensi Limbah Sagu
Indonesia merupakan negara agraris dengan kekayaan sumber daya hayati pertanian, baik jenis maupun jumlah yang sangat melimpah. Salah satu sumber daya hayati tersebut adalah sagu. Indonesia merupakan negara utama penghasil sagu di dunia. Indonesia memiliki hutan sagu liar yang luas (>700.000 ha). Beberapa daerah penghasil sagu, di antaranya Irian Jaya terdapat sekitar 6 juta dan daerah Pidie di pantai timur Aceh memiliki 2012 ha lahan untuk produksi sagu dengan kapasitas produksi 527 ton sagu (McClatchey et al. 2006).
Sagu (Metroxylon sagu) memiliki kandungan pati yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis Metroxylon lainnya, sehingga sagu banyak dimanfaatkan dalam berbagai industri termasuk pertanian. Saat ini, pemanfaatan sagu hanya terfokus pada pati yang terkandung di dalamya. Perkembangan industri pengolahan pati  menyebabkan peningkatan hasil sampingan berupa limbah sagu, diantaranya kulit batang dan ampas sagu. Limbah ikutan pengolahan sagu berupa kulit batang batang sagu sekitar 17-25% dari serat batang, sedangkan ampas sekitar 75-83% . Namun, limbah tersebut belum dimanfaatkan secara optimal (McClatchey et al. 2006). Padahal limbah merupakan biomassa lignoselulosa yang kaya akan selulosa, sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber karbon.
Kandungan pati dan selulosa pada limbah sagu adalah salah satu alasan yang menjadikannya sebagai sumber karbon. Kiat (2006) meyatakan bahwa limbah sagu berupa kulit batang biasanya dikeringkan dan digunakan untuk kayu bakar, sedangkan ampas sagu dicampur dengan bahan makanan tambahan dan digunakan sebagai makanan hewan. Hal ini disebabkan ampas sagu mengandung karbohidrat (selulosa) yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak sehingga menjadi sumber energi bagi ternak. Selulosa limbah sagu dapat dimanfaatkan oleh ternak karena ternak memiliki enzim khusus (selulase) yang dapat menguraikan selulosa menjadi komponen yang lebih sederhana yang berguna sebagai sumber energi. Selain itu, kulit batang sagu dan ampas sagu juga digunakan sebagai pengisi dalam pembuatan papan partikel.  
Baru-baru ini, Kiat (2006) memanfaatkan limbah sagu dengan melakukan karakterisasi karboksimetil limbah sagu  untuk dijadikan sebagai hidrogel. Selain itu, Aziz (2002) dalam Kiat (2006) melaporkan bahwa serat sagu digunakan sebagai ruahan fermentasi rumen dan pelepah sagu dalam industri pulp dan kertas. 
Limbah sagu dari hasil samping industri pengolahan pati berupa kulit batang dan ampas sagu mengandung pati, serat kasar, protein kasar, lemak, dan abu. Namun, pati terdapat dalam jumlah terbesar. Ampas mengandung 65,7% pati yang terdiri atas residu lignin sebesar 20,67%, sedangkan kandungan selulosa di dalamnya sebesar 19,55% dan sisanya merupakan zat ekstraktif dan abu. Di sisi lain, kulit batang sagu mengandung selulosa (56,86%)  dan lignin yang lebih banyak (37,70%) daripada ampas sagu (Kiat 2006).

2.2. Pemanfaatan Limbah Sagu
Biomassa secara sempit didefinisikan sebagai bahan (material) yang berasal dari tumbuhan terestrial (darat). Biomassa tumbuhan sebagian besar  berupa biomassa lignoselulosa yang tersusun dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selain itu pektin, protein, zat ekstraktif, dan abu juga terdapat dalam jumlah kecil. Salah satu biomassa lignoselulosa adalah limbah sagu.
Biomassa secara sempit didefinisikan sebagai bahan (material) yang berasal dari tumbuhan terestrial (darat). Biomassa tumbuhan sebagian besar  berupa biomassa lignoselulosa yang tersusun dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selain itu pektin, protein, zat ekstraktif, dan abu juga terdapat dalam jumlah kecil. Salah satu biomassa lignoselulosa adalah limbah sagu

Limbah sagu merupakan hasil samping industri pengolahan pati. Industri ekstraksi pati sagu menghasilkan tiga jenis limbah, yaitu residu selular empulur sagu berserat (ampas), kulit batang sagu, dan air buangan. Jumlah kulit batang sagu dan ampas sagu adalah sekitar 26% dan 14% berdasar bobot total balak sagu (Singhal et al. 2008).
Biasanya kulit batang sagu dikeringkan dan digunakan untuk kayu bakar, sedangkan ampas sagu dicampur dengan bahan makanan tambahan dan digunakan sebagai makanan hewan. Kulit batang sagu dan ampas sagu juga digunakan sebagai pengisi dalam pembuatan papan partikel (Kiat 2006).
Kiat (2006) melaporkan bahwa limbah sagu mengandung komponen penting seperti pati dan selulosa. Jumlah limbah kulit batang sagu mendekati 26%, sedangkan ampas sagu sekitar 14% dari total bobot balak sagu. Ampas mengandung 65,7% pati dan dan sisanya merupakan serat kasar, protein kasar, lemak, dan abu. Dari persentase tersebut ampas mengandung residu lignin sebesar 21%, sedangkan kandungan selulosa di dalamnya sebesar 20% dan sisanya merupakan zat ekstraktif dan abu. Di sisi lain, kulit batang sagu mengandung selulosa (57%)  dan lignin yang lebih banyak (38%) daripada ampas sagu.


2.3. Na-CMC Sebagai Bahan Baku Pembuatan Hidrogel
Na-CMC adalah turunan dari selulosa dan sering dipakai dalam industri pangan, atau digunakan dalam bahan makanan untuk mencegah terjadinya retrogradasi. Pembuatan CMC adalah dengan cara mereaksikan NaOH dengan selulosa murni, kemudian ditambahkan Na-kloro asetat (Fennema, Karen and Lund, 1996).
Reaksi :
R OH + NaOH → RONa + H2O
R ONa + ClCH2COONa → O CH2COONa + NaCl
Na-CMC merupakan zat dengan warna putih atau sedikit kekuningan, tidak berbau dan tidak berasa, berbentuk granula yang halus atau bubuk yang bersifat higroskopis (Inchem, 2002). Menurut Tranggono dkk. (1991), CMC ini mudah larut dalam air panas maupun air dingin. Pada pemanasan dapat terjadi pengurangan viskositas yang bersifat dapat balik (reversible). Viskositas larutan CMC dipengaruhi oleh pH larutan, kisaran pH Na-CMC adalah 5-11 sedangkan pH optimum adalah 5, dan jika pH terlalu rendah (<3), Na-CMC akan mengendap (Anonymous. 2004).
Na-CMC akan terdispersi dalam air, kemudian butir-butir Na-CMC yang bersifat hidrofilik akan menyerap air dan terjadi pembengkakan. Air yang sebelumnya ada di luar granula dan bebas bergerak, tidak dapat bergerak lagi dengan bebas sehingga keadaan larutan lebih mantap dan terjadi peningkatan viskositas (Fennema, Karen andLund, 1996). Hal ini akan menyebabkan partikel-partikel terperangkap dalam sistem tersebut dan memperlambat proses pengendapan karena adanya pengaruh gaya gravitasi.
Menurut Fardiaz, dkk. (1987), ada empat sifat fungsional yang penting dari Na-CMC yaitu untuk pengental, stabilisator, pembentuk gel dan beberapa hal sebagai pengemulsi. Didalam sistem emulsi hidrokoloid (Na-CMC) tidak berfungsi sebagai pengemulsi tetapi lebih sebagai senyawa yang memberikan kestabilan. Dengan adanya Na-CMC ini maka partikel-partikel yang tersuspensi akan terperangkap dalam sistem tersebut atau tetap tinggal ditempatnya dan tidak mengendap oleh pengaruh gaya gravitasi (Potter, 1986).
Mekanisme bahan pengental dari Na-CMC mengikuti bentuk konformasi extended atau streched Ribbon (tipe pita). Tipe tersebut terbentuk dari 1,4 –D glukopiranosil yaitu dari rantai selulosa. Bentuk konformasi pita tersebut karena bergabungnya ikatan geometri zig-zag monomer denga jembatan hydrogen dengan 1,4 -Dglukopiranosil lain, sehingga menyebabkan susunannya menjadi stabil. Na-CMC yang merupakan derivat dari selulosa memberikan kestabilan pada produk dengan memerangkap air dengan membentuk jembatan hydrogen dengan molekul Na-CMC yang lain (Belitz and Grosch, 1986).
Secara garis besar, proses pembuatan karboksi metil selulosa melalui 2 (dua) tahap reaksi, yaitu pertama reaksi alkalisasi dan kedua reaksi eterifikasi. Pada reaksi tahap pertama, yaitu alkalisasi merupakan reaksi antara selulosa dengan larutan soda (basa) menjadi alkali selulosa (selulosa bersifat larut dalam larutan soda). Sedangkan tahap kedua, yaitu eterifikasi merupakan reaksi antara alkali selulosa dengan senyawa natrium kloro asetat menjadi natrium karboksi metil selulosa (Na-CMC) yang membentuk larutan kental (viskous). Reaksi berlangsung dalam temperatur antara 60-800C dan waktu operasi antara 2-3 jam dan dilakukan pengadukan (mixing).
2.4. Analisis Substansi Hidrogel

Hidrogel merupakan polimer superabsorben yang mempunyai sifat mampu menahan pengeluaran air dan mengatur penyerapan. Hidrogel juga bersifat hidrofilik dan memiliki permeabilitas air yang tinggi. Sifat hidrofilik hidrogel dipengaruhi oleh gugus -OH, -COOH, -CONH2, NH2 dan -SO3H. Ikatan utama gugus hidrofilik karena terdiri dari gugus asam karboksilat (-COOH) yang mudah menyerap air sehingga ketika dimasukkan dalam air atau pelarut akan terjadi interaksi antara polimer dengan molekul air (Herdiyanto et al., 2007). Interaksi yang terjadi adalah hidrasi. Mekanisme hidrasi yang terjadi adalah ion dari zat terlarut dalam polimer seperti COO- dan Na+ akan tertarik dengan molekul polar air seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Mekanisme Hidrasi Polimer Superabsorben





2.5. Kemampuan Hidrogel Menahan Air
Penggunaan hidrogel dapat dimanfaatkan sebagai bahan polimer superabsorben. Kelebihan penggunaan hidrogel jika dibandingkan dengan bahan absorben lain seperti kertas, selulosa dan kapas adalah kemampuan absorpsinya beberapa kali lipat dibandingkan beratnya, tahan terhadap tekanan dan 90 % bahannya dapat diuraikan sehingga ramah lingkungan. Polimer superabsorben merupakan suatu bahan yang dapat mengabsorpsi dan atau menyimpan cairan lebih dari berat bahan tersebut dan tidak melepas cairan tersebut. Penggunaan polimer superabsorben sangat banyak diantaranya digunakan sebagai bahan pengolahan limbah, media tumbuh tanaman, bahan untuk mengurangi friksi dalam pipa, bahan pelapis anti bocor, pelindung jaringan kabel bawah tanah, bahan pembuatan kemasan barang dan bahan pemadam kebakaran.
Polimer superabsorben dari bahan organik memiliki beberapa kelemahan diantaranya kapasitas absorpsi yang terbatas, karakteristik fisik yang kurang kuat, tidak stabil terhadap perubahan suhu dan pH.
Banyak penelitian yang dilakukan untuk memodifikasi polimer dengan bahan lain untuk meningkatkan kemampuan absorpsi dan ketahanan sifat fisiknya dengan memanfaatkan radiasi diantaranya pembuatan polimer superabsorben yang dimodifikasi dengan menggunakan radiasi gamma. Polimer yang dihasilkan mempunyai kapasitas absorpsi air dan uap yang lebih baik yaitu 200 g air/g polimer, ketahanan fisik terhadap suhu dan keasaman yang cukup tinggi. Di samping itu, polimer yang dihasilkan dapat mengabsorpsi larutan urea dengan kapasitas absorpsi antara 935 sampai 5212 g/g polimer serta dapat menyerap lebih dari 20 persen massa air.
2.6. Akrilamide Sebagai Campuran Na-CMC Dalam Sintesis Hidrogel
Akrilamida (atau amida akrilat) adalah senyawa organik sederhana dengan rumus kimia C3H5NO dan berpotensi berbahaya bagi kesehatan (menyebabkan kanker atau karsinogenik) sehingga harus hati-hati dalam penggunaanya. Nama IUPAC-nya adalah 2-propenamida. Dalam bentuk murni ia berwujud padatan kristal putih dan tidak berbau. Pada suhu ruang, akrilamida larut dalam air, etanol, eter, dan kloroform. Ia tidak kompatibel dengan asam, basa, agen pengoksidasi, dan besi (dan garamnya). Dalam keadaan normal ia akan terdekomposisi menjadi amonia tanpa pemanasan, atau menjadi karbon dioksida, karbon monoksida, dan oksida nitrogen dengan pemanasan.
Akrilamida dapat membentuk rantai polimer panjang yang dikenal sebagai poliakrilamida, yang juga karsinogenik. Polimer ini dipakai dalam pengental karena ia akan membentuk gel bila tercampur air. Dalam laboratorium biokimia poliakrilamida dipakai sebagai fase diam dalam elektroforesis gel (PAGE atau SDS-PAGE). Ia dipakai pula dalam penanganan limbah cair, pembuatan kertas, pengolahan bijih besi, dan dalam pembuatan bahan pengepres. Beberapa akrilamida dipakai dalam pembuatan zat pewarna, atau untuk membentuk monomer lain.
2.7. Kelebihan Limbah Sagu sebagai Bahan Dasar Pembuatan Hidrogel
Potensi sagu di Indonesia saat ini seluas 1,128 juta ha atau 51,3% dari 2,201 juta ha areal sagu dunia dan pemanfaatan tanaman sagu sejauh ini cenderung terfokus pada pati yang dihasilkannya. Pengolahan batang sagu menjadi pati hanya 16-28%. Hasil ikutan pengolahan sagu berupa kulit batang dan ampas sekitar 72% merupakan biomassa limbah sagu hasil industri pengolahan sagu yang masih sangat kurang pemanfaatannya (Asben 2005). Kiat (2006) melaporkan bahwa jumlah ampas sagu dan pati yang besar di dalam air limbah praolah berkontribusi terhadap BOD dan COD air limbah secara signifikan. Limbah ini akan menjadi masalah lingkungan yang serius bila tidak di perlakukan untuk tujuan tertentu atau dibuang dengan cara yang benar. Dengan demikian, limbah sagu dapat menjadi alternatif sebagai bahan baku pembuatan hidrogel.




BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses pembuatan karboksi metil selulosa dapat dilakukan secara alkilasi maupun eterifikasi. Namun yang dipilih disini pada proses eterifikasi yang menghasilkan reaksi:
R OH + NaOH → RONa + H2O
R ONa + ClCH2COONa → O CH2COONa + NaCl
Reaksi tersebut disebut reaksi eterifikasi dikarenakan dalam proses pembuatannya, selulosa (pati sagu) direaksikan dengan natrium kloro asetat menjadi natrium karboksi metil selulosa (Na-CMC) yang membentuk larutan kental (viskous). Na-CMC stabil walaupun bahannya higroskopis. Dibawah kondisi basa yang tinggi, Na-CMC mampu menyerap air secara besar kuantitasnya. Solut cairan stabil pada pH 2 – 10, namun dapat stabil di bawah pH 2, dan kekentalan solut menurun dengan cepat diatas pH 10. Umumnya, solut menunjukan kekentalan maksimal dan stabil pada pH 7 – 9. Na-CMC kemungkinan steril dalam keadaan kering oleh keutamaan Na-CMC saat temperatur ±100o C dalam satu jam. Beberapa bahan materialnya dipersiapkan untuk sterilisasi, Meskipun viskositasnya menurun secara signifikan. Larutan solut dapat disterilisasi dalam keadaan panas. Dengan demikian larutan solut juga menghasilkan viskositas yang dapat tereduksi. Setelah kesemuanya, viskositas tereduksi sekitar 25%, tetapi hal ini mereduksi sedikit daripada material yang steril pada `keadaan yang kering. Luasnya reduksi sama dengan berat molekuler dan menurun ketika substitusi.
Dalam hal ini, Na-CMC sudah dapat digunakan sebagai absorber karena telah memiliki sifat hidrofilik namun untuk meningkatkan nilai ekonomis yang lebih tinggi, maka perlu dilakukan pencangkokan untuk mengubah ketahanan fisiknya dikarenakan ketahanan fisik Na-CMC terbilang belum cukup kuat.
Untuk memberikan ketahanan struktur fisik yang lebih kuat, maka dilakukan pencangkokan Na-CMC dengan akrilamide yang hasilnya nanti disebut sebagai hidrogel. Hasil dari pencangkokan ini, yaitu:
1.      Rendaman dengan waktu 2 jam menghasilkan akrilamide yang diabsobsi sekitar 62 dan 68 %.
2.      Perendaman lebih lama akan menurunkan efektivitas karena semakin lama, ikatan Na dengan CMC akan digantikan dengan H dari akrilamide.
3.      Rendaman yg lama mengakibatkan Na terektraksi ke dalam monomer sementara CMC tidak bisa mengembang lagi menyerap akrilamide.
Perlu diketahui, untuk karakterisasi dapat dilakukan empat cara, yaitu dengan termogravimetri analisis, FTIR, uji swelling, dan atau SEM.
Termografi Analisis
Termografi analisis dikenal sebagai termografi inframerah yang merupakan alat ukur temperature berdasarkan deteksi gelombang radiasi termal dalam bentuk hasil gambar (termogram). Visualisasi hasil termogram membantu dalam memprediksikan kondisi ketebalan suatu bahan atau polimer melalui analisa distribusi temperatur. Beberapa parameter yang diperlukan dalam analisis adalah temperature permukaan dalam dan luar bahan, parameter pengukuran temperature serta dimensi bahan. Selain prediksi kuantitative, teknik pengukuran termografi inframerah ini juga dapat secara langsung mengetahui lokasi terjadinya kegagalan fungsi sistem pencangkokan bahan.
Caranya adalah sampel dimasukkan ke dalam crus alumina kemudian dipanaskan dari suhu 25-6000C dngn mngalirkan gas N2.
FTIR (Fourier Tranform Infra Red)
Spektroskopi Infra Red  (IR) merupakan teknik analisis kimia yang metodenya berdasarkan pada penyerapan sinar infra merah oleh molekulsenyawa. Panjang gelombangm IR tergolong pendek, yakni 0,78 – 1000 μm, sehingga tidak mampu mentransisikan elektron, melainkan hanya menyebabkan molekul bergetar atau bervibrasi. Spektrokopi IR digunakan untuk penentuan struktur, yakni informasi penting tentang gugus fungsional suatu molekul. Penentuan struktur inidilakukan dengan melihat plot apektrum IR yang terdeteksi oleh alatspektrofotometer IR. Spektrum ini menyatakan jumlah radiasi IR yangditeruskan melalui cuplikan sebagai fungsi frekuensi atau bilangan.
Spektrofotometer IR digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui karakteristik padatan yang dihasilkan, seperti struktur ikatan dan gugus fungsi yang dikandungnya.
Uji Swelling (Uji Pengembangan)
Merupakan teknik untuk menguji kemampuan serap hidrogel terhadap air, yaitu dengan caa merendam sampel dalam air.
SEM (Scanning Electron Microscope)
Mikroskop pemindai elektron atau SEM adalah sebuah mikroskop yang mampu melakukan pembesaran objek sampai 2 juta kali, yang menggunakanelektro statik dan elektro magnetik untuk mengontrol pencahayaan dan tampilan gambar serta memiliki kemampuan pembesaran objek serta resolusi yang jauh lebih bagus daripada mikroskop cahaya.
Prosedur kerja analisis SEM yaitu pertama-tama dilakukan suatuupaya untuk menghilangkan penumpukan elektron (charging) di permukaan obyek, dengan membuat suasana dalam ruang sampel tidak vakum tetapi diisi dengan sedikit gas yang akan mengantarkan muatan positif ke permukaan obyek, sehingga penumpukan elektron dapat dihindari.
SEM ini dapat digunakan untuk menentukan bentuk kristal dari hidrogel.






BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.      Peningkatan limbah pertanian dari hasil samping industri dapat dimanfaatkan sebagai Natrium CMC yang merupakan bahan baku dalam pembuatan hidrogel. Oleh sebab itu, hal ini dapat dijadikan solusi sebagai penanggulangan terhadap limbah pertanian khususnya limbah sagu.
2.      Limbah sagu sebagai hasil samping industri pengolahan pati memiliki potensi sebagai penghasil bahan baku produksi hidrogel. Selama ini, limbah sagu hanya digunakan sebagai kayu bakar atau pakan ternak. Limbah sagu mengandung lignoselulosa yang kaya akan selulosa sehingga dapat dijadikan sebagai bahan baku produksi hidrogel.
3.      Metode tahapan yang dapat dilakukan dalam produksi hidrogel dari limbah sagu adalah pembuatan Na-CMC, pencangkokan dengan akrilamid menggunakan mesin berkas elektron, dan analisis hasil.
4.      Limbah sagu sebagai bahan baku pembuatan hidrogel memiliki keuntungan yaitu meningkatkan nilai guna limbah sagu, hidrogel, dan mengurangi pencemaran lingkungan.
Saran
Potensi limbah sagu sebagai Na-CMC yang notabene dijadikan sebagai bahan baku pembuatan hidrogel perlu mendapatkan perhatian khusus untuk dikembangkan. Sebaiknya ada kerjasama antara pemerintah, perguruan tinggi, dan industri hasil pertanian. Promosi produk hidrogel dari limbah sagu sebaiknya dilakukan lebih intensif. Kemudian perlunya penelitian lebih lanjut agar hidrogel yang dihasilkan dapat dikembangkan lebih luas dalam segi pemanfaatannya.



DAFTAR PUSTAKA
Belitz, H. D. and W. Grosch. 1986. Food Chemistry. New York: Springer Veralag Berlin Heldenberg
Fardiaz, Srikandi, Ratih Dewanti, Slamet Budijanto. 1987. Risalah Seminar ; Bahan Tambahan Kimiawi (Food Additive). Bogor: Institut Pertanian Bogor
Fennema,O.R. 1986. Principle of Food Science. Marcel Dekker Inc. New York and Basel
Fennema, O. R., M. Karen, and D. B. Lund. 1996. Principle of Food Science. The AVI Publishing, Connecticut
Potter, N. Norman. 1986. Food Science. The AVI Publishing. Inc. Westport, Connecticut
Tranggono, S., Haryadi, Suparmo, A. Murdiati, S. Sudarmadji, K. Rahayu, S. Naruki, dan M. Astuti.1991. Bahan Tambahan Makanan (Food Additive). PAU Pangan dan Gizi.Yogyakarta: UGM
Herdiyanto, Erizal, dan Tamat, S.R. 2007. Pengaruh Iradiasi Gamma dan Konsentrasi Polivinilpirolidon Pada Pembuatan Hidrogel serta Kemampuan Imobilisasi dan Pelepasan Kembali Propanolol HC.Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia.Tangerang.Vol.VII:1-16
Swasono,R.Tamat,dkk.2008.Sintesis Hidrogel Poli(N-Vinil-2-Pirolidon-Asam Tartrat).pdf
Rosiak JM.1991.Hydrogel Dressing HDR, Radiation Effect on Polymer. Washington D.C: ACS (page 118-20)
Anonym.1989.Hydrogel:Speciality Plastic for Biomedical And Pharmaceutical Application.New York: Academid Press (page 17-47)
Kiat LJ.2006.Preparation and characterization of carboxymethyl sago waste and its hydrogel [tesis]. Malaysia: Universiti Putra Malaysia.
McClatchey W, Manner HI, dan Elevitch CR. 2006. Metroxylon amicarum, M. paulcoxii, M. sagu, M. salomonense, M. vitiense, and M. warburgii (sago palm) Arecaceae (palm family). Species Profiles for Pacific Island Agroforestry. www.traditionaltree.org
Singhal RS, Kennedy JF, Gopalakrishnan SM, Kaczmarek Agnieszka, Knill CJ, dan Akmar PF. 2008. Industrial production, processing, and utilization of sago palm-derived products. Carbohydr Polym 72: 1-20.

Anonymous. 2004. Cellulose. http://en.wikipedia.org/wiki/Cellulose

4 komentar:

Unknown mengatakan...

Maaf, produk ini dikomersilkan atau tidak ya?

Unknown mengatakan...

apakah benar adanya, jika limbah sagu dapat dirubah menjadi hidrogel? mohon jawabannya

Lian Rimba mengatakan...

Perlu di praktek kan @yudhi aulia rahman

Tommy mengatakan...

Menjual berbagai macam jenis Chemical untuk cooling tower chiller dan waste water treatment,STP dll untuk info lebih lanjut tentang produk ini bisa menghubungi saya di email tommy.transcal@gmail.com
Hp:081310849918

Posting Komentar